Ma’na Cum Maghza Dan Dekonstruksi Makna Patriarki Dalam QS. An-Nisa’: 34

Qurrah A'yuniyyah

Dalam kajian tafsir kontemporer, pendekatan ma’na cum maghza merupakan salah satu pendekatan yang semakin mendapat tempat di tengah upaya untuk memahami Al-Qur’an secara kontekstual dan relevan dengan realitas kekinian. Prof. Sahiron mengatakan bahwa pendekatan ini menggabungkan dua tradisi besar: pertama, tradisi keilmuan Islam klasik, khususnya ulūm al-Qur’ān (kecuali ilmu nasakh), dan kedua, tradisi keilmuan Barat, seperti pendekatan hermeneutika. Pendekatan ini berangkat dari keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang salih li kulli zaman wa makan, dimana tidak serta-merta membekukan maknanya secara literal, melainkan menggali makna historis (ma’na al tarikhi) dan pesan utama (maghza at-Tarikhi).

Salah satu ayat yang sering menjadi bahan perdebatan, khususnya diskursus gender dalam Al-Qur’an adalah QS. An Nisa: 34, “Ar-Rijalu qowwamuna ‘alannisa”. Ayat ini secara tekstual menyebut bahwa laki-laki adalah qawwam atas perempuan, yang sering diartikan sebagai “pemimpin” atau bahkan “penguasa”. Pendekatan konservatif memaknai ayat ini secara literal dan menganggapnya berlaku mutlak dalam segala waktu dan tempat, sehingga relasi gender dalam masyarakat dianggap bersifat hierarkis, dengan laki-laki sebagai pemimpin mutlak. Namun, dengan pendekatan ma’na cum maghza, makna ayat ini dapat dikaji ulang berdasarkan konteks sejarah, struktur sosial saat ayat diturunkan, dan dinamika bahasa Arab dari aspek sinkronik dan diakronik. Kata qawwam dalam konteks abad ke-7, di mana laki-laki memang secara ekonomi, sosial, dan politik lebih dominan, mencerminkan struktur patriarkal yang wajar dalam zamannya. Namun, apakah struktur itu bagian dari pesan moral utama Al-Qur’an, atau hanya konteks pendukung bagi penekanan nilai keadilan, tanggung jawab, dan perlindungan?

Di sinilah maghza menjadi penting. Bila kita menelisik lebih jauh, ayat ini juga menunjukkan beban tanggung jawab laki-laki dalam konteks nafkah dan perlindungan terhadap keluarga. Maka, pesan moral yang bisa ditarik bukanlah dominasi, melainkan tanggung jawab. Dalam konteks modern, di mana perempuan juga berperan dalam ekonomi dan kepemimpinan, struktur sosial bisa bergeser, namun nilai tanggung jawab dan keadilan tetap harus dipertahankan. Dengan demikian, pendekatan ma’na cum maghza tidak menafikan teks, tetapi menempatkan teks dalam konteks historis dan sekaligus menggali pesan moral universal yang dapat dibawa ke masa kini. Tafsir hasil pendekatan ini memang bersifat relatif dan terbuka untuk didialogkan, karena hanya Allah yang mengetahui makna absolut dari firman-Nya. Pendekatan ini menjadi jembatan antara kesetiaan terhadap teks dan tuntutan zaman. Dalam isu gender seperti QS. An-Nisa’: 34, pendekatan ini memungkinkan pembacaan yang lebih adil dan membebaskan, tanpa kehilangan akar keislaman yang otentik.

| Qur'anic Studies |
| Tafsir Studies |
| Qur'anic Studies |
Post Content Holder

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *