history

By: Syamil Basayif

Fred M. Donner, dalam The Historian, the Believer, and the Qurʾān mengendus adanya pergeseran orientasi di kalangan believers pasca intervensi sejarawan atas al-Qurʾān. “Many believers may turn to the work of historians in the hope of securing a better understanding of the Qurʾān and of the life of the Prophet who was, in their view, the vehicle of the Qurʾān’s delivery to humankind” (Donner: 2011). Statemen ini sepertinya cocok untuk menggambarkan bagaimana positioning Munirul Ikhwān dalam gagasan kronologi al-Qurʾān yang menjadi topik diskusi Elbranstalk Sabtu (27/10) kemarin.

Melanjutkan Donner, tulisan ini berargumen bahwa proyek Munir sejatinya adalah upaya rekonsiliasi dan negosiasi dua kutub believer-historian—dimana dia mengadopsi tradisi historis-kritis di satu sisi, namun tetap berpijak pada kesadaran teologis dan metode tradisionalis di sisi yang lain. Sebuah pola yang sekilas sama dengan tulisannya yang terkini, When Literary ‘Arabiya Adopted for A Religious Mission (Ikhwān: 2024Basayif: 2024)

Sebagai disclaimer, tulisan ini tidak akan mengulangi—kecuali dalam rangka mengajukan ketidaksepakatan saya atas—review Drama Ilahi ulasan Muʿammar Zayn Qadafi, melainkan lebih berfokus me-review diskusi tersebut—sembari mempertanyakan kembali status Munir; apakah dia berdiri sebagai seorang sejarawan atau orang beriman. 

Mengadaptasi Sejarawan, Merawat Keimanan

Munir mengawali presentasinya dengan mengklarifikasi pemilihan diksi “Drama Ilahi” yang menurutnya terinspirasi ide Angelika Neuwirth ketika menyebut al-Qurʾān sebagai ‘dramatis personae’—a speaker reciting a message received from an 'absent' commissioner which he has to communicate to a plurality of listeners (Neuwirth: 2000). Yang menarik, alih-alih terjebak dalam jurang antropomorfisme, Munir mengejawantahkan frasa ini ke dalam bahasa yang sangat membumi dan nJawani; “Dalang dan Wayang”. Tuhan adalah Dalang yang mengatur segala skenario turunnya al-Qurʾān, sedangkan manusia hanyalah wayang yang tidak memiliki ruang intervensi apapun atas gagasan kanon suci.

Menghadirkan nama Nasr Hamid yang menyebut yang pertama sebagai “tindakan Tuhan” dan yang terakhir sebagai “ruang kesejarahan manusia” jelas mengindikasikan usahanya berpayung di bawah naung teologi (Abu Zayd: 1990).

Dalam aspek epistemologis, selayaknya sejarawan, Munir cukup bersikap kritis terhadap “supremasi riwāyāt” dengan mengajukan beberapa keberatan. Sekilas, dia nampaknya juga tertarik dengan gagasan ketidakmungkinan turunnya satu surat yang sama dalam dua atau tiga waktu yang berbeda. Namun keputusan finalnya adalah “tetap menerima riwayat sembari bersikap kritis, karena kita tidak mungkin keluar dari riwayat sepenuhnya”. Demikian pula, Munir masih mengamini adanya surat yang turun dua kali dengan dalil(h?) “al-jamʿu bayna al-riwāyatayn”. Hanya saja langkahnya cukup elegan dengan menyebut fenomena ini sebagai peristiwa “recalling” (h. 214).  

Terkait dengan posisi Theodore Nöldeke dalam artikel Munir, saya tidak sepakat dengan penilaian Qadafy yang menyebut “Nöldeke mendapat tempat khusus dalam artikel Munir”. Saya justru melihat status Nöldeke disini hanya sebagai batu loncatan mengudarakan gagasannya—terlepas fakta bahwa porsi penjelasan Nöldeke memang cukup panjang. Baik dalam artikelnya, maupun ditekankan lagi dalam sesi diskusi, Munir menegaskan bahwa analisis intratekstual ala Nöldeke hanyalah “faktor pendukung” saja, sebab “gaya bahasa al-Qurʾān tidak selalu bergerak konstan dari yang pendek ke yang panjang” (h. 223). Alih-alih Noldeke, fraseologi Montgomery Watt justru lebih banyak diadopsi oleh Munir, walaupun dia juga tidak menerimanya secara taken for granted. 

Munir mencontohkan kelemahan Noldeke dan Watt dalam kasus QS. al-Naṣr yang jika dianalisis secara intratekstual maupun berbasis pada fraseologi akan meletakkannya dalam kategori surat Makkiyah, namun Munir prefer menggolongkannya sebagai surat Madaniyyah berdasarkan setting historis kenabian—mengutip riwayat sabab nuzūl dari al-Suyūṭī. 

Terlepas dari ketidaksepakatannya atas Nöldeke, terdapat satu hal yang cukup mengganggu ketika membandingkan hasil akhir dari kronologi Munir dan Nöldeke: Keduanya sepakat mengurutkan deretan akhir surat al-Qurʾān sebagai berikut: al-Naṣr [110]; al-Ḥujurāt [49]; al-Tawbah [09]; al-Māʾidah [05] (Noldeke, 2013Riddel: 2016). Lantas apa konsekuensi dari perbedaan kerangka epistemologis di atas jika ujung-ujungnya hasilnya sama saja?!

Menjadi Believer sekaligus Historian: Utopis atau Realistis?

Di sesi diskusi, ada tiga pertanyaan menarik yang menurut Munir jawabannya akan berbeda tergantung kapasitas kita sebagai believer atau historian. Pertama, perihal efektifitas tartīb nuzūlī dalam menafsirkan al-Qurʾān. Menurut Munir, gagasan kronologi lebih menarik bagi sejarawan yang penasaran dengan makna asli dari al-Qurʾān. Sebaliknya, hal tersebut tidak selamanya berlaku bagi orang beriman, yang terkadang pemaknaan mereka sudah tercampur dengan bias-bias ideologi dan kepentingan. “Makna asli itu tidak selamanya yang dicari, juga tidak selamanya dicintai. Orang beriman akan cenderung memilih makna yang men-support selera dan menaungi hidup mereka.” Jelasnya. 

Munir kemudian mencontohkan makna leksikal “al-Awliyāʾ” (Q. 5:51) yang menurutnya tidak masuk akal jika Nabi berintensi menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin, namun mufassir belakangan justru menggiringnya ke arah sana.  Demikian pula, makna “al-Muṭahharūn” (Q. 56:79) hari ini berubah menjadi legitimasi kewajiban memegang muṣhaf dalam kondisi suci. Padahal gagasan menjadikan al-Qurʾān sebagai muṣhaf belum muncul dan baru terealisasi jauh setelah turunnya ayat tersebut.

Setelah menjabarkan ketidakidealan pendekatan believer di atas, di pertanyaan kedua, ketika menjawab tentang “Bagaimana menyisir bias kesejarahan?”, Munir justru berbalik menguliti cara historian mendekati Nabi yang menurutnya justru sangat dipenuhi bias tersebut. “Maaf ini, ya. Orientalis lama dulu bilang kalau Nabi itu suka dengan anak kecil, suka menikah, dan sebagainya; itu karena mereka juga bias.” Jawabnya. “Label itu muncul karena mereka menggunakan worldview orang sekarang dalam menilai orang di masa lalu. Sekarang muncul tuduhan kalau Islam itu laki-laki (red: patriarkis), padahal di Eropa sampai tahun 1950-an pun perempuan belum boleh punya rekening. Gimana itu?” Tambahnya lagi.   

Poin yang ingin ditekankan Munir dalam hal ini adalah; Bias kesejarahan itu pasti ada, bahkan bagi mereka yang mendaku sebagai sejarawan—karena kita selalu dibentuk oleh sejarah. Tugas terpentingnya adalah sejauh mana bias tersebut bisa dipertanggungjawabkan.

Terakhir, ketika ditanya “Mungkinkah kita menjadi believer dan historian dalam saat yang sama?”, Munir segera mengafirmasi bahwa itu “pertanyaan yang sulit.” Namun dia menyarankan agar kita sebagai peneliti bersikap lebih empatik terhadap tradisi kesarjanaan lain. Dia lantas mencontohkan strategi Montgomery Watt ketika mendamaikan teologi Muslim yang meyakini “Allah says” dan narasi orientalis lama yang menuding “Prophet says” ketika berhadap dengan status al-Qurʾān. Watt lantas memilih jalan tengah dengan menulis “The Qurʾān says”. 

Langkah diplomatis ini, di satu sisi, dan ketidakmungkinan menyatukan dua kerangka epistemik di atas, di sisi lain, mengingatkan saya pada sikap Fred M. Donner—kita semua tahu posisinya dalam studi Qurʾān berada di kutub mana—terhadap isu yang sama. Dengan memparafrase statemen Van Harvey, Donner menulis, “the believer in a revealed religion cannot also act as a historian of that religion’s origins because the discipline of history is itself a kind of faith-system – arival faith-system, if you will – in that history also requires absolute fidelity to certain basic assumptions. The historian’s assumptions, however, are rooted in the use of reason rather than in reliance on received knowledge.” (Donner: 20112024

Donner bahkan dalam artikel ini membuat imajinasi cukup ‘pinggir jurang’. Dia menulis, “somehow we discovered a videotape of Muḥammad working privately in his study, composing passages of the Qurʾān while referring to older religious texts from his personal library, such as the Hebrew Bible, various Syriac lectionaries, and other writings from the late antique Judaeo-Christian tradition. Would this discovery prove that the Qurʾān was not divine revelation, but merely Muḥammad’s own creation? The answer, of course, even in this preposterous case, is no—for the simple reason that no one can claim with any certainty or authority to know how a transcendent God would choose to communicate with a prophet.” (Donner: 2011).

Sedikit intermezzo, saya yakin, andai imajinasi semacam Donner ini kita yang menulis untuk submit di jurnal Sinta, reviewer mungkin akan memaki-maki dan menuduh kita terlalu banyak nonton drama. 

Pada akhirnya, di antara referensi believer yang relatif minim dan teori historian yang serba spekulatif Munirul Ikhwān memilih untuk berdiri. Dengan mengadopsi teologi progresif Nasr Hamid, kepekaan atas konteks Late AntiquityAngelika Neuwirth; pelibatan rekonstruksi historis Montgomery Watt; juga penerimannya atas riwāyāt yang logis dan historis adalah upayanya membangun—saya menyebutnya, dan saya yakin kalau itu—‘The middle path of Qur'anic chronology between believer and historian’.

Referensi:

Basayif, M. Syamil. “Meninjau Ulang Bahasa Tuhan: Reviu Artikel Munirul Ikhwan”, studitafsir.com (blog), 4 Desember, 2024.

Donner, Fred M. The Historian, the Believer, and the Qur'anin Gabriel Said Reynolds (ed.), New Perspectives on the Qur’ān. The Qur’ān in its historical context 2 (London and New York: Routledge, 2011), 25-37.

--------------------. "A Historian’s View of the Qurʾān: IQSA Presidential Address – Palermo, Italy – September, 2022" Journal of the International Qur’anic Studies Association, vol. 9, no. 1, 2024, pp. 1-13

Ikhwan, Munirul. When Literary ‘Arabiya Adopted for A Religious Mission: The Quran and the Expansion of the Arabic Poetic Koine. Al-Jami’ah: Journal of  Islamic Studies Vol. 62, no. 1 (2024), pp. 91-117

--------------------Drama Ilahi: Sebuah Upaya dalam Membaca Kronologi Wahyu Alquran. Mutawatir : Jurnal Keilmuan Tafsir Hadith, 10(2), 202–238

Neuwirth, Angelika. Negotiating Justice: A Pre-Canonical Reading of the Qur'anic Creation Accounts (Part 1), Journal of Qur’anic Studies, 01(01).

Nöldeke, Theodor, Friedrich Schwally, Gotthelf Bergsträßer, dan Otto Pretzl. The History of the Qur’ān. Transletted by Wolfgang H. Behn. Leiden & Boston: Brill, 2013.

Qadafy, Muʿammar Zayn. “Kronologi al-Qur’an Sebagai Drama Ilahi: Review Artikel Munirul Ikhwan”, studitafsir.com (blog), February 10th, 2021 

Riddell, Peter G. Reading the Qurʾān Chronologically: An Aid to Discourse Coherence and ThematicDevelopment, in Islamic Studies Today: Essays in Honor of Andrew Rippin (Leiden: Brill, 2016), 297-316.

| Qur'anic Studies |
| Tafsir Studies |
| Qur'anic Studies |