Chronology
By: Minbran

Tulisan ini merupakan terjemahan dari salah satu sub-tema dalam buku Key Term of the Qur’an karya Nicolai Sinai.


Al-Qur’an menggambarkan sejumlah nabi terdahulu yang dihadapkan pada kesetiaan umatnya terhadap tradisi nenek moyang, tema ini terasa sangat nyata dalam sosok Ibrahim. Tidak heran apabila beberapa versi narasi Al-Qur’an tentang Ibrahim menceritakan ajakan monoteisme yang ia sampaikan tidak hanya “kepada kaumnya” (li-qawmihi) tetapi secara khusus “kepada ayahnya” (li-abīhi; Q 6:74 , 19:42 , 21:52 , 26:70 , 37:85 , 43:26 ).


Konflik antara Ibrahim dan ayahnya ditonjolkan secara khusus dalam dakwah Ibrahim di Q 19:42-45 , yang mengandung empat kali penggunaan panggilan yā-abati, “Wahai ayahku”, yang dijawab oleh ayah Ibrahim dengan menegaskan komitmennya pada dewa-dewanya dan mengancam anaknya dengan berhala (Q. 19:46 ).


Al-Qur’an menggambarkan Ibrahim sebagai pemberontak anti-paternal yang sejati, yang pemutusan hubungannya dengan tradisi nenek moyang digunakan secara langsung terkait dengan seruan para lawan Muhammad terhadap tradisi nenek moyang (Q 43:19–29 , dengan total lima kali penggunaan kata “ayah” atau “ayah-ayah” dalam ayat 22, 23, 24, 26, 22, 23, 24, 26, dan 29).


Surah-surah Madaniyyah mengembangkan gambaran Mekkah tentang Ibrahim sebagai paradigma pemberontakan anti-ayah dengan mengangkatnya menjadi figur pendiri yang efektif dalam monoteisme Al-Qur’an. Yang paling penting dalam konteks saat ini, Q 22:78 menyerukan kepada komunitas orang beriman untuk mengikuti “ajaran ayahmu Ibrahim” (millat abīkum ibrāhīm).


Dalam misi ini, Ibrahim yang dahulu merupakan pemberontak anti-ayah diubah menjadi figur otoritas ayah. Formulasi ini memiliki preseden kuat dalam tradisi Yahudi dan Kristen (misalnya, M. Qidd. 4:41 dan Rom 4:1.11–12 ), dan Q 22:78 tanpa ragu bertujuan untuk menegaskan bahwa klaim umat beriman Al-Qur’an terhadap Ibrahim lebih unggul daripada klaim yang secara rutin diajukan oleh Yahudi dan Kristen (lihat juga Q 3:67–68).


Namun, menarik bahwa Q 22:78 mengekspresikan pentingnya Ibrahim bagi komunitas Al-Qur’an dalam istilah ayah, mengingat kritik tajam surah-surah Makkiyyah terhadap seruan lawan-lawan mereka terhadap otoritas nenek moyang. Ide bahwa Ibrahim dan keturunannya yang langsung berfungsi sebagai paradigma alternatif terhadap kebiasaan leluhur yang menjadi dasar bagi orang-orang musyrik, Al-Qur’an juga mendasari Q 2:133 , di mana anak-anak Ya’qub berjanji kepada ayah mereka yang sekarat bahwa mereka akan, setelah kematiannya, terus menyembah “Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu Ibrahim, Ismail, dan Ishaq.”


Motif yang sama sudah terlihat dalam Q 12:38 , di mana Yusuf menyatakan tekadnya untuk “mengikuti ajaran nenek moyangku Ibrahim, Ishak, dan Yakub” (lihat juga Q 12:6 ).


Dengan demikian, pada periode Madinah, wahyu Al-Qur’an tidak begitu saja menolak konsep tradisi keayahaan/abawiyyah/patriarchal yang otoritatif, melainkan berusaha menetralisir beban warisan paganisme nenek moyang dengan warisan monoteistik Ibrahim dan para ayah leluhur Alkitab. Penting untuk dicatat bahwa paradigma alternatif warisan monoteistik Abrahamik ini mengasumsikan pemahaman bahwa penduduk Mekkah secara harfiah adalah “keturunan” (dhurriyyah) Ibrahim (Q 2:128 , 14:37 , 40 ), sama seperti para penyembah berhala secara harfiah adalah keturunan nenek moyang mereka (Q 7:173 ).


Paradoxnya, dengan tetap memuja dewa-dewa selain Allah, para penyembah berhala Mekkah, meskipun tampak terobsesi dengan preseden nenek moyang, sebenarnya melanggar warisan nenek moyang yang sebenarnya, yaitu monoteisme abrahamik.

| Qur'anic Studies |
| Tafsir Studies |
| Qur'anic Studies |